RA. Kartini: Santriwati KH. Sholeh Darat, Pengarang Kitab Tafsir Faidh Al-Rahman
Sejak kita kecil, doktrin yang tertanam tentang RA Kartini adalah pejuang emansipasi wanita. Pejuang muslimah yang mulia ini seringkali diperalat sebagai tokoh pendukung gerakan feminisme.
Sesungguhnya jika melacak kehidupan Kartini dari surat menyuratnya, dapat kita gali dan temukan perjalanan penemuan makna diri RA Kartini dalam mencari kebenaran sejati.
Almarhumah Kartini adalah orang yang fitrahnya lurus atau hanif. Nilai hidup yang Beliau selalu tegakkan adalah Keadilan, beliau mengkritisi semua hal yang dianggap melawan keadilan. Inilah yang kemudian membimbing Beliau untuk menemukan Kebenaran Sejati (Kitabullah), menemukan kesejatian dirinya di semesta, menemukan Misi Perjuangan Hidupnya sampai akhir hayat.
Dalam perspective Virtue Ethics atau Budi Pekerti, kita ketahui bahwa Adil atau Justice adalah budi pekerti yang pokok dan tertinggi yang berangkat dari fitrah yang lurus.
Membaca perjalanan pencarian makna hidup RA Kartini, kita temukan bagaimana fitrah Kartini memberontak melihat ketidakadilan di sekitarnya. Ini dapat dilacak dari surat suratnya sejak tahun 1899 sampai menjelang wafatnya tahun 1904.
Tulisan ini ingin mengulas perjalanan pemikiran dan pencarian kebenaran RA Kartini melalui surat menyuratnya dengan Sahabatnya, maupun bukti pertemuannya kemudian dengan kebenaran itu.
Semoga kita semua menyadari bahwa setiap insan, sepanjang ia sungguh sungguh merawat fitrahnya, jujur dan selalu mencari kebenaran, maka ia akan mencapai kebenaran hakiki itu.
Kartini mengkritik tradisi feodal Jawa. Surat Kartini kepada Nona Zeehandelar tanggal 25 Mei 1899, sebagi berikut: “kami gadis-gadis terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur duabelas tahun, lalu saya ditahan di rumah, saya mesti masuk “tutupan”, saya dikurung didalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tanpa setahu kami..”
Kartini juga mengkritik agamanya, dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar pada tanggal 6 November 1899, “Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca al-Quran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila, mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa inggris yang harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan makna kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya disana. Walaupun tidak shaleh, kan boleh juga jadi orang baik hati, bukankah demikian Stella?”
Begitu Kartini mengetahui dan mengenali bahwa Al Qur’an memiliki makna-makna yang selama ini belum ia pahami, Kartini mulai tergugah.
Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon. “Saya sungguh gembira melihat perkembangan kesenian bangsa bumiputera… Bahagia mendapatkan segala sesuatu yang indah. Cahaya Tuhan ada dalam diri manusia, dalam apa daja, bahkan juga sesuatu yang tampaknya paling buruk… Saya berharap dengan pendidikan dapat membantu pembentukan watak, dan paling utama adalah cita-cita…
Saya hendak berbicara dengan kamu tentang bangsa kami, dan bukan tentang pendidikan. Tentang hal itu nanti bukan? Disini ada seorang orang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi…
Saya tidak mau lagi belajar membaca al-Qur’an, belajar menghafal amsal dalam bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi, guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semua. Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami”.
Kepada sahabat korespondensinya itu pulq, pada15 Agustus 1902, ia menyatakan, “Alangkahnya bebalnya, bodohnya kita, tiada melihat, tiada tahu, sepanjang hidup ada GUNUNG EMAS (maksudnya alQuran) di samping kami .”
Perubahan besar dalam Jiwa Kartini yang nampak begitu antusias di atas adalah Takdir Allah yang mempertemukan Kartini dengan "Orangtua" dalam suratnya itu. Sejarah mencatat pertemuan itu terjadi pada tahun 1901.
Orangtua itulah Kyai Sholel Darat, seorang Ulama besar, merupakan Guru dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri NU KH Hasyim Asy'ari.
Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan kajian tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Fitrahnya yang lurus bercahaya, bertemu dengan cahaya Kitabullah.
Selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Kelak Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat pada tahun 1903, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Inilah momen dimana Kartini terbuka hati oleh Al Qur’an.
Sebelum Pernikahan RA Kartini, beliau mulai berguru pada Kyai Sholeh Darat. Pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat bukan hanya dalam satu kali pengajian saja sebagaimana disebutkan beberapa penulis.
Ternyata Kartini selalu hadir dalam pengajian-pengajian Mbah Sholeh Darat saat mengisi pengajian di Demak, Kudus dan Jepara. Maka wajar jika terjadi perbedaan pendapat kapan pertemuan itu dilaksanakan. KH Musa Machfudh sebagaimana dituliskan oleh Abdullah Salim menyebut bahwa pertemuan Mbah Sholeh dengan Kartini pada tahun 1901 (dua tahun sebelum pernikahan Kartini).
Fitrah Kartini nampak semakin indah dan sempurna setelah dipandu Kitabullah.
Surat Kartini yang lebih dahsyat lagi adalah tertanggal 17 Agustus 1902 kepada Tuan EC Abendanon, ia menulis:
“Selamat pagi, melalui surat ini Adik datang lagi untuk bercakap-cakap…
Kami merasa senangnya, seorang tua yang telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.
Kami sekarang sedang membaca pusi bagus, pelajaran arif dalam bahasa yang indah. Saya ingin sekali kamu mengerti bahasa kami… Patuh karena takut! Bilakah masanya datang firman Allah yang disebut cinta itu, meresap ke dalam hati manusia yang berjuta-juta itu?
Demikianlah saya, ibarat anak yang baru berumur 12 tahun hanya seorang diri berhadapan dengan kekuasaan musuh… Tuhan itu besar, Tuhan itu kuasa!”
Pada Surat Kartini pada Abendanon pada 17 Agustus 1902, “.
Kami berpegang teguh-teguh pada tanganNya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.
Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita Hari kelahiran hari pertama"
Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara, keislaman Kartini tidak kedjawen, meskipun hidup di lingkungan priyayi Jawa. Karena Kartini belajar dari Al Qur’an yang murni (dengan pendekatan Tasawuf). Ditambah karakter dasar Kartini yang memang pembelajar.
Dalam suratya, Kartini menunjukkan sikapnya terhadap politik kristenisasi dan westernisasi. Kepada E. C Abendanon, R. A Kartini mengingatkan: “Zending Protestan jangan bekerja dengan mengibarkan panji-panji yang pernah mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat Zending melihat Islam sebagai musuhnya. Dampaknya, semua agama akan menjauhi Zending. ”
Kartini juga menolak ajakan Ny. Van Kol masuk Kristen. Dijawabnya, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kita sekarang ini.” Selanjutnya, R. A Kartini Memberikan harapannya pada Ny.Van Kol, agar Barat bertoleransi terhadap Islam: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat membuat agama lain melihat agama kami Islam,” 21 Juli 1902.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai."
Kartini mulai menyadari hakekat kehidupan, ia dengan penuh semangat dan penuh keyakinan, dalam suratnya kepada Dr. Andriani, 24 September 1902 “…, yang sangat menarik hati kami dalam hidup ini, ada kelakuan manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang kerap kali tiada tahu batasnya. Sungguhpun kelobaan (kerakusan) itu rupanya sudah memerintah seluruh dunia, cinta itupun masih ada juga . ”
Kartini mulai menemukan solusi bagi makna atau misi perjuangannya. Dalam suratnya kepada Prof Anton beserta istrinya, yang ditulis pada 4 Oktober 1902. "Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini." "Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama," tulis Kartini.
Surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?” Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Kartini, juga nampak menikmati Keislamannya, ia menceritakan mengenai puasa Ramadhan kepada sahabatnya Nyonya B. Niermeijer pad atanggal 20 Desember 1902, berikut:
“Selamat ulang tahun Berthie yang manis dan budiaman. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Saya mohon maaf jika hanya bisa mengirimimu kartu. Sebeenarnya saya ingin menulis surat yang panjang lebar, tetapi karena berbagai keadaan tidak mengizinkannya sehingga saya berbuat demikian. Bagi kami orang Islam, bulan puasa adalah bulan yang penuh dengan kesibukan. Sekarang ini pertengahan bulan dan banyak hal lain yang tidak mungkin saya katakan. Sampai sesudah tahun baru, akan tiba surat yang panjang untuk menjawab suratmu, Berthie."
Sebagai catatan, Faidh al-Rahman, yang dihadiahkan untuk RA Kartini, adalah berupa tafsir Alquran berbahasa Jawa pertama di Nusantara yang terdiri atas 13 juz, mulai dari Al-Fatihah hingga surat Ibrahim, karena penulisnya wafat sebelum menyelesaikannya. KH Sholeh Darat, lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada 1235 Hijriyah (1820) dengan nama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani. Ayahnya, Kiai Umar merupakan pejuang kemerdekaan dan kepercayaan Pangeran Diponegoro di pesisir utara Jawa Tengah.
Kartini adalah murid atau santri dari KH Sholeh Darat dari kalangan Priyayi. Seorang pakar sejarah mengatakan, andai Tafsir alQuran bisa mencapai QS AlAhzab, niscaya RA Kartini Berjilbab.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu HAMBA ALLAH"
Allah SWT sungguh ridha padanya dan menganggapnya telah tuntas menjalani perjalanan hidupnya di dunia, maka Allah mewafatkan RA Kartini pada 17 September tahun 1904.
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!
[Al-Fajr/89:27-30]
Begitulah perjalanan seorang Muslimah yang fitrahnya lurus, berjuang dengan tulus, maka Allah pertemukan dengan Kebenaran Hakiki, dengan misi hidup sejati dalam rangka menjadi hambaNya yang sejati. Inilah jalan yang lurus, jalan orang orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT. Mari temukan petajalan kita untuk menuju Allah SWT.
Sumber : Fb Santri Kebumen
1 Komentar
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Fakta Mengenai Makam Nabi Muhammad SAW
Belum banyak yang tahu kalau makam Nabi Muhammad merupakan makam dengan lapisan segel paling ketat di dunia. Mari kita bahas Nabi Muhammad wafat di rumah Aisyah dan dimakamkan persis
Haruskah kita merayakan Hari Pria Internasional? Sejarah, Kontroversi, dan Maknanya
Setiap Tahun Pada Tanggal 19 November, Hari Pria Internasional (HPI) Dirayakan Di Seluruh Dunia. Banyak orang akan bertanya-tanya mengapa pria perlu merayakan hari kesadaran ke
Hari Pelajar Internasional
Hari Pelajar Internasional diperingati pada tanggal 17 November. Pada hari ini, kita mengenang keberanian ribuan pelajar di Praha yang berjuang demi kebanggaan nasional dan hak atas p
Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Justru Durhaka kepada Ibunya
Kisah Juraij merupakan cerita yang sarat akan pelajaran berharga tentang hubungan antara seorang anak dan orang tuanya. Juraij, seorang ahli ibadah yang hidup pada masa Bani Israil, ter
Kisah Urwah bin Zubair yang Membuat Kita Semakin Tabah Menjalani Hidup
Hisyam, putra Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa pada suatu hari ayahnya pergi mendatangi Al Walid bin Abdil Malik. Ketika sampai di Wadil Qura, dia merasakan rasa nyeri di kakinya. Ke
Al-Khawarizmi: Bapak Matematika Dunia dan Penemu Angka Nol
Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, lahir sekitar tahun 780 M di Khawarizm (sekarang Uzbekistan), adalah salah satu ilmuwan Muslim paling berpengaruh di dunia. Karyanya mencakup bidang mat
Pelajaran dari Luqmanul Hakim kepada Anaknya
Luqmanul Hakim merupakan salah satu sosok yang namanya diabadikan dalam Al-Quran karena kebijaksanaannya yang luar biasa. Ia bukan seorang nabi, namun Allah SWT menganugerahkan kepadany
Di Balik Sosok Khalid bin Walid yang Kebal Terhadap Racun
Khalid bin Walid adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam yang dikenal karena kegigihannya di medan perang. Ia diberi julukan Saifullah atau Pedang Allah oleh Nabi Muhammad SAW
Hari Palang Merah Indonesia, 3 September atau 17 September?
Kawula Muda, ada yang bisa bedainnya? Hari Palang Merah Indonesia (PMI) diperingati setiap 3 September. Tapi, enggak hanya 3 September, 17 September juga dirayakan sebagai Hari Pal
Teaching Factory/TEFA
Pembelajaran teaching factory adalah metode pembelajaran berpusat produksi atau jasa yang menyelaraskan pengajaran dan pelatihan (praktek) yang berdasar pada prosedur dan stan
habis gelap terbitlah terang